Jumat, 28 Oktober 2016

KESEJATIAN PRIA DALAM PERSPEKTIF FIRMAN TUHAN



KESEJATIAN PRIA DALAM PERSPEKTIF FIRMAN TUHAN

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kej. 1:27)

Pendahuluan
Dalam banyak kebudayaan tersirat pemahaman tentang bagaimana menjadi seorang pria atau menjadi pria sejati (manhood). Konstruksi kesejatian seorang pria  (manhood) terbangun di masing-masing kebudayaan sangat beragam. Dengan beragamnya pemahaman tentang bagaimana menjadi seorang pria yang sejati, membuat orang berpikir bahwa manhood adalah produk kebudayaan. Tetapi fakta Alkitab menunjukan bahwa manusia atau Pria telah ada jauh sebelum kebudayaan itu berkembang, maka konsep tentang kesejatian seorang Pria (manhood) bukan konsep yang muncul dari budaya tertentu tetapi konsep ini adalah konsep Alkitab yang tentunya berasal dari Allah.
Kejadian 1:27, mengemukakan bahwa sejak awal Allah telah merancangkan manusia itu dengan identitas Gender yang jelas (laki-laki dan perempuan). Tentunya Allah mempunyai maksud dengan menciptakan manusia sebagai Laki-laki dan perempuan.
Kata laki-laki dalam Alkitab berasal dari kata Ibrani – zâkâr. Kata ini memiliki arti - to remember, untuk mengingat.[1] Kata ini searti dengan budaya paternalis dimana nama seorang laki-laki akan dilekatkan pada nama anak-anaknya sebagai nama keluarga (Family name). Dengan demikian, karakteristik seorang pria yang membuat dirinya berbeda dengan wanita selalu diawali dari identitasnya. Identitas seorang Pria jelas terlihat dari seksualitasnya. Pertanyaan standar yang sering kita dengar ketika seseorang anak baru dilahirkan adalah apa identitas seksual anak itu. Karena itu, pemahaman tentang kesejatian Pria (manhood) tidak akan bisa dilepaskan dari pemahaman kita tentang male sexuality.
Male sexuality
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging, Kej. 2:24
Kata satu daging dalam ayat ini berasal dari kata ibrani ‘echâd bâsâr’. ‘echâd’ atinya unity – penyatuan, ‘bâsâr’ bisa diterjemahkan pudenta (Latin). Pudenta adalah bahasa Latin menunjuk pada  alat reproduksi manusia bagian luar.[2] Jadi, pengertian menjadi satu daging jelas menunjuk pada penyatuan alat reproduksi pria – wanita.
Dasar pemahaman ini menunjukan bahwa seorang pria bisa dikatakan memperoleh pengalaman menjadi seorang pria yang utuh ketika ia menikah dan mengalami penyatuan seksual dengan isterinya.[3] Karena ini merupakan ketetapan Allah maka manusia harus taat kepada ketetapan tersebut. Ketika manusia melanggar ketetapan ini artinya manusia memberontak terhadap Allah.
Peran dan Tanggung jawab Seorang Pria
TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” (Kej. 2:15-17)
dr. Andik Wijaya dalam bukunya sexual Holines membagikan peran seorang laki-laki dalam 5 kategori yaitu:
1.       Provider – Pencari Nafkah
2.       Protektor – Pelindung
3.       Progeniter – Model
4.       Preise - Imam
5.       Propert - Nabi
Pada hahekatnya semua Laki-laki berperan sebagai kepala dalam keluarganya. Dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai kepala, seorang laki-laki bertindak sebagai pengendali dalam aktifitas keluarga.
TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. (Kej. 2:15).
Ayat ini mendiskripsikan apa yang Adam harus lakukan di Taman Eden. Ketetapan ini Allah berikan kepada Adam sebelum Allah menggagas pernikahan yang baru tertulis dalam pasal 2:18 dalam kitab Kejadian (TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”).
Seorang Laki-laki akan mengalami fase-fase pertumbuhan mencapai situasi di mana laki-laki  tersebut dapat mempraktekkan fungsinya sebagai seorang Pria sejati. Fase pertumbuhan tersebut dapat tergambar dari 4 dimensi:
-          Dimensi Fisik
Pria ditetapkan untuk melindungi istri dan anak-anaknya, bahkan komunitas dan bangsanya dari berbagai ancaman fisik. Pada situasi tertentu pria harus siap untuk berperang demi melindungi istri, anak-anak, komunitas dan bangsanya. Dalam kondisi aman, perlindungan fisik dapat diekspresikan dengan membangun tempat tinggal yang aman dan damai.
-          Dimensi Psikologis

-          Dimensi Sosial
-          Dimensi Spiritual


[1]Andik Wijaya, Sexual Holiness Volume 5, Surabaya: Gramedia, 2015, hlm. 18.
[2]Ibid., hlm. 47
[3]Seks hanya bisa dinikmati setelah seorang pria diberkati dalam pernikahan kudus bersama pasangannya.

1 komentar: